Banda Aceh – Sampai abad 19 Aceh merupakan daerah yang berdaulat dan dihormati oleh dua imperialis di Indonesia dan sekitarnya yaitu Inggris dan Belanda. Berdasarkan Traktat/perjanjian London 1824 maka Aceh dijadikan daerah penyangga (Bufferstate) antara kekuasaan Inggris di Malaka dengan Bengkulu yang diserahkan Inggris kepada Belanda.
Keadaan tersebut tidak dapat bertahan
lama karena adanya kepentingan Belanda yang berniat menduduki Aceh
sehingga timbullah perlawanan rakyat Aceh.
Sebab-sebab Perang Aceh
- Belanda merasa berhak atas daerah Sumatra Timur yang diperoleh dari Sultan Siak sebagai upah membantu Sultan dalam perang saudara melalui Traktat Siak tahun 1858, sementara Aceh berpendapat daerah terebut merupakan wilayahnya.
- Sejak Terusan Suez dibuka tahun 1869 perairan Aceh menjadi sangat penting sebagai jalur pelayaran dari Eropa ke Asia.
- Keluarnya Traktat Sumatra tahun 1871 yang menyatakan bahwa Inggris tidak akan menghalangi usaha Belanda untuk meluaskan daerah kekusaannya sampai di Aceh dalam rangka Pax Netherlandica. Traktat Sumatra yang mengancam kedaulatannya? Aceh berusaha untuk mencari bantuan dengan mengirim utusan ke Turki. Selain itu juga dijalin hubungan ke perwakilan negara Amerika Serikat dan Italia di Singapura. Tindakan Aceh ini mencemaskan Belanda lalu menuntut Aceh agar mengakui kedautalan Belanda. Aceh menolak tututan tersebut sehingga Belanda melakukan penyerangan.
Sifat perlawanan Aceh ada dua macam
yaitu politik dan keagamaan. Perlawanan politik bertujuan untuk
mempertahankan kedaulatan Aceh. Perlawanan politik dipimpin oleh para
bangsawan yang bergelar Teuku.
Tokoh-tokoh bangsawan itu antara lain
Teuku Umar dan isterinya bernama Cut Nyak Dien, Panglima Polim, Sultan
Dawutsyah, Teuku Imam Lueng Batta. Perang juga bersifat keagamaan yaitu
menolak kedatangan Belanda yang akan menyebarkan agama kristen di Aceh.
Tokoh keagamaan adalah para ulama yang bergelar Teungku contoh Teungku
Cik Di Tiro. Golongan ulama tidak mudah menyerah dan kompromi terhadap
Belanda.
Jalan perang
- Pada bulan April tahun 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral JHR Kohler menyerang Aceh namun gagal bahkan Jendral Kohler tewas dalam pertempuran memperebutkan masjid Raya.
- Pada bulan Desember 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jendral Van Swieten dapat menduduki istana serta memproklamirkan bahwa kejaraan Aceh sudah takluk. Nama Banda Aceh kemudian diganti kota raja. Apakah Aceh benar-benar sudah takluk kepada Belanda? Ternyata tidak demikian. Raja Aceh yaitu Sultan Mahmudsyah wafat karena sakit. Putranya yang bernama Muhammad Dawotsyah menjalankan pemerintahan di Pagar Aye. Rakyat Aceh tetap melanjutkan perlawanan dipimpin oleh Panglima Polim.
- Fase berikutnya sejak tahun 1884 Belanda mempertahankan kekuasaan hanya di daerah yang didudukinya saja. Disitu dibentuk pemerintahan sipil. Sistem ini disebut Konsentrasi Stelsel.
Pada tahun 1893 Teuku Umar melakukan
siasat menyerah kepada Belanda dan memperoleh kepercayaan memimpin 250
orang pasukan bersenjata lengkap lalu diberi gelar Teuku Umar Johan
Pahlawan. Apakah tindakan Teuku Umar merupakan penghianaatan bagi
bangsanya ? Ternyata siasat itu hanya untuk mendapatkan senjata yang
cukup guna menghadapi Belanda berikutnya. Belanda cukup sulit
menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Guna mengetahui sistem sosial serta
rahasia keuletan rakyat Aceh maka dikirimlah Dr. Snouck Hurgronye
seorang ahli dalam agama islam untuk menyelidiki hal itu.Hasil
penyelidikannya dibukukan dengan judul “De Atjehers” menurut Hurgronye
ada dua cara untuk menundukkan Aceh yaitu melakukan pendekatan kepada
para bangsawan dan mengangkat putra-putra mereka menjadi pamong praja
pada pemerintah Belanda. Kaum ulama harus dihadapi dengan kekuatan
senjata sampai menyerah.
Sejak 1896. Belanda bertekad
menyelesaikan perang dengan mengirim pasukan marsose (polisi militer)
dengan panglimanya Letnan Kolonel Van Geuts. Dalam pertempuran di
Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899 Teuku Umar gugur. Perlawanan
masih berlanjut sampai akhirnya bulan Januari 1903 Sultan Dawutsyah
menyerah, September 1903 Panglima Polim juga menyerah.
Ternyata hal itu karena kelicikan
Belanda yaitu mengultimatum Sultan untuk menyerah setelah menangkap
isteri dan anak-anaknya. Belanda masih melanjutkan pembersihan terhadap
daerah yang terakhir bergolak yaitu Gayo Alas (Aceh Tenggara) dipimpin
oleh Letkon Van Daalen tahun 1904, rakyat yang gugur 2922 orang.
Perlawanan Cut Nyak Dien masih berlanjut selama 5 tahun. Ia memimpin
pasukan keluar masuk hutan rimba dengan tekad rela mengorbankan jiwa
raga demi kemerdekaan bangsanya serta mengusir Belanda. Perlawanan Cut
Nyak Dien berakhir tahun 1905. Ia ditangkap dan dibuang ke Cianjur lalu
Sumedang hingga wafat 6 Nopembeer 1908, sedangkan Cut Meutia gugur tahun
1910.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar