Pengertian Konflik Sosial
Karl Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik.
Konflik dapat kita artikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Karl Marks mengantisipasi bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi hasil
akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan. Dengan kekecualian
masa-masa yang paling awal dari masyarakat sebelum munculnya hak milik
pribadi, karena ciri utama hubungan – hubungan sosial adalah perjuangan
kelas. Namun bentrokan kepentingan – kepentingan ekonomis ini akan
berakhir di dalam sebuah masyarakat yang tanpa kelas, bebas konflik dan
kreatif yang disebut komunisme.akan tetapi perhatian Marx tidak terpusat
pada ciri – ciri hubungan – hubungan sosial yang kooperatif dari utopia
komunis yang dijanjikan.
Tulisan – tulisan teoritisnya banyak menangani penjelasan mengenai
kenyataan – kenyataan sosial yang ada, dan sumbangan pokoknya bagi
pemahaman kita tentang masyarakat terletak dalam analisanya mengenai
sebab – sebab ekonomis dari konflik sosial dan cara – cara konflik itu
dibendung dan ditekan oleh kelas yang berkuasa di dalam setiap
masyarakat sebelum meledak menjadi bentuk – bentuk kehidupan sosial yang
baru.
Tekanan Marx pada peranan konflik dalam hubungan – hubungan sosial
mengingatkan pada Hobbes, tetapi Marx melihat konflik sosial lebih
terjadi di antara individu – individu dan meskipun ada kesamaan dalam
pandangan mengenai topik yang disebut Marx kesadaran palsu, Marx
mempunyai sebuah kepercayaan yang optimistis akan mungkinnya kehidupan
komunitas yang secara manusiawi memuaskan yang lebih khas pada
Aristoteles daripada Hobbes.
Sedangkan White & Bednar (1991) mendefinisikan konflik
sebagai suatu interaksi antara orang-orang atau kelompok yang saling
bergantung merasakan adanya tujuan yang saling bertentangan dan saling
mengganggu satu sama lain dalam mencapai tujuan itu.
Faktor – faktor penyebab konflik antar kelompok sosial
Faktor – penyebab terjadinya konflik antar kelompok sosial antara lain sebagai berikut :
- Adanya perbedaan antar kelompok sosial, baik secara fisik maupun mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga menimbulkan pertikaian atau bentrokan di antara mereka.
- Perbedaan pola kebudayaan seperti prbedaan adat istiadat, suku bangsa, agama, paham politik, pandangan hidup, dan budaya darah sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan, bahkan bentrokan di antara anggota kelompok sosial tersebut.
- Perbedaan mayoritas dan minoritas yang dapat menimbulkan kesenjangan sosian di antara kelompok sosial tersebut. Misalnya antara etnis Cina (minoritas) dan etnis pribumi (mayoritas).
- Perbedaan kepentingan antar kelompok sosial, seperti perbedaan kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan sejenisnya merupakan faktor penyebab timbulnya konflik.
- Perbedaan individu. Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
- Perbedaan latar belakang kebudayaan. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat menghasilkan konflik.
- Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan.
- Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Selain dari tujuh factor penyebab konflik seperti yang di atas, ada juga
beberapa factor penyebab terjadinya konflik antar kelompok social, yang
antara lain adalah sebagai berikut :
Faktor – faktor penyebab terjadinya konflik antar kelompok sosial antara lain adalah sebagai berikut
- Konflik antar kelompok sosial
Dalam masyarakat Indonesia, ada beberapa kelompok yang menganut agama
yang berbeda – beda. Ada yang memeluk agama islam, Kristen, Hindu, dan
Budha. Adanya perbedaan agama ini akan membawa perbedaan dalam kehidupan
sehari – hari. Misalnya, cara peribadatan, acara perkawinan, dan
penerapan hukum warisan.
Adanya perbedaan- perbedaan tersebut, jika dijadikan masalah akan
menimbulkan konflik antara pemeluk agama yang satudengan yang lain.
Konflik yang terjadi dapat dalam skala kecil, besar, lama, atau hanya
sebentar. Konflik tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
masing – masing . Biasanya aspek SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan) merupakan aspek yang sangat peka dalam kehidupan
bermasyarakat. Misalnya, konflikdi Poso dan Ambon yang melibatkan dua
penganut agama yang berbeda.
- Konflik antar kelompok suku bangsa
Dalam kehidupan masyrakat multikultural seperti indonesia, antara
kelompok suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang lain terdapat
perbedaan- perbedaan yang khas. Perbedaan – perbedaan tersebut mencakup
hal – hal sebagai berikut :
1. Perbedaan tata susuanan dan kekerabatan, misalnya patrilineal, matrilineal, dan parental.
2. Perbedaan seni bangunan rumah, peralatan kerja, dan pakaian-pakaian adat.
3. Perbedaan kesenian daerah, misalnya tarian, musik, seni lukis, dan seni pahat.
4. Perbedaan adat istiadat dalam perkawinan, upacara ritual, dan hukum adat.
5. Perbedaan bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Papua, Makassar, dan Minangkabau
Perbedaan tersebut di atas, sering kali dapat menjadi pemicu timbulnya konflik antar kelompok suku bangsa.
Perbedaan ini disebabkan oleh faktor-faktor antara lain sebagai berikut :
1. Hukum adat dan garis kekerabatan yang berbeda.
Adanya sitem kekerabatanmatrilineal, parilineal, dan parental dalam
kelompok-kelompok suku bangsa, memiliki pengaruh yang luas dalam hal
tata cara perkawinan, hak menggunakan marga, hak mengatur ekonomi rumah
tangga, dan warisan.
2. Latar belakang sejarah yang berbeda
Akibat latar belakang sejarah yang berbeda akan menghasilkan keadaan
sosial budaya yang tidak sama. Misal, dalam kelompok masyarakat Bali
dengan latar belakang sejarah kerajaan Hindu yang kuat, sementara
kelompok masyarakat Demak, Surakarta, dan Yogyakarta memiliki latar
belakang sejarah Islam yang kuat. Adanya perbedaan ini berpengaruh pada
tata upacara ritual, adat perkawinan, gamelan, pakaian adat, dan tarian.
3. Wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau
Penduduk yang terdapat di daerah terpencil jarang melakukan kontak
dengan daerah lain sehingga memiliki sifat dan karya seni budaya yang
spesifik dan unik. Misalnya, suku Asmat dan suku Laut.
4. Kebudayaan geografis yang tidak sama
Keadaan letak geografis yang strategis akan mempengaruhi corak ragam
penduduk dan kebudayaan yang lebih kopleks jika dibandingkan dengan
kelompok masyarakat yang letaknya tidak strategis. Mislanya, perbedaan
masyarakat kota dengan masyarakat desa.
c. Konflik antar kelompok Ras (Rasial)
Tiap – tiap kelompok ras pasti menyadari perbedaan-perbedaan dalam
kelompoknya, misalnya tabiat, tingkah laku, etika pergaulan, dan ciri –
ciri fisik (warna kulit, warna mata,warna dan bentuk rambut, serta
bentuk hidung). Adanya perbedaan tersebut menyebabkan antara kelompok
ras satu dan kelompok ras yang lainnya terjadi pertenatangan. Misalnya,
ras kulit hitam dengan ras kulit putih yang menimbulkan politik
apartheid yang merendahkan martabat orang kulit hitam.
Sumber Konflik Sosial
- Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing
pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan
apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan
rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
- Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.
Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi
diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
- Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau
masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang
dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
- Perasaan sensitive
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain.
Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara
manusia. Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya
adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar
dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat
itu sendiri. Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang
sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara
tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu,
apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional. Pada
umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut:
1. Perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan.
2. Langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan
3. Persaingan.
Bentuk Konflik Sosial
Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama
conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi
pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian.
Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda
pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam
Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi
sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu,
kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan
menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik.
Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya,
bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis
konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan
dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki
setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat
terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan
organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau
kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu
pihak dan kebijakan lainnya.
Proses Konflik
Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan
karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik
awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah
satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang
dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi
kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik.
Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu
pelibatan emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan,
ketegangan, frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk
bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang berkonflik.
Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam
perilaku, walaupun tidak selalu konsisten.
Menurut Robbins (1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu:
1. Oposisi atau ketidakcocokan potensial.
2. Kognisi dan personalisasi.
3. Maksud.
4. Perilaku
5. Hasil.
Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya kondisi yang
mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik. Kondisi ini tidak
perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu
jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut dikelompokkan dalam
kategori: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang
buruk merupakan alasan utama dari konflik, selain itu masalah-masalah
dalam proses komunikasi berperan dalam menghalangi kolaborasi dan
merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa menjadi titik awal dari
konflik. Struktur dalam hal ini meliputi: ukuran, derajat spesialisasi
dalam tugas yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan
jurisdiksi, kecocokan anggota tujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan,
dan derajat ketergantungan antara kelompok-kelompok. Variabel pribadi
juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Pernahkah kita mengalami
situasi ketika bertemu dengan orang langsung tidak menyukainya? Apakah
itu kumisnya, suaranya, pakaiannya dan sebagainya. Karakter pribadi yang
mencakup sistem nilai individual tiap orang dan karakteristik
kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal dari
konflik. Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak
atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi.
Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi
yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana hal ini
terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional
dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan,
frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam
suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak
yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku,
walaupun tidak selalu konsisten. Maksud dalam penanganan suatu konflik
ada lima, yaitu:
1. Bersaing,
tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan
kepentingan seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap
pihak lain dalam suatu episode konflik.
2. Berkolaborasi,
bila pihak-pihak yang berkonflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi
sepenuhnya kepentingan dari semua pihak, kooperatif dan pencaharian
hasil yang bermanfaat bagi semua pihak.
3. Mengindar,
bilamana salah satu dari pihak-pihak yang berkonflik mempunyai hasrat
untuk menarik diri, mengabaikan dari atau menekan suatu konflik.
4. Mengakomodasi,
bila satu pihak berusaha untuk memuaskan seorang lawan, atau kesediaan
dari salah satu pihak dalam suatu konflik untuk menaruh kepentingan
lawannya diatas kepentingannya.
5. Berkompromi,
adalah suatu situasi di mana masing-masing pihak dalam suatu konflik
bersedia untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya masing-masing.
Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat an untuk
menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan
ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan
terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salah
paham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang
berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam
arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau
disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.oleh pihak-pihak
yang berkonflik. Perilaku meliputi: upaya terang-terangan untuk
menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan
ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan
terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau
salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak
yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional
dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau
disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.
Kjonflik sosial bisa terjadi pada setiap lapisan masyarakat dan
golongan. Dengan suatu pertentangan yang bisa dijadikan ukuran untuk
melakukan suatu pemberontakan, maka konflik tersebut tidak bisa
dihindari lagi karena Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala
pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal
balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan
itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa
mereka saling berbeda atau berlawanan . Dalam hubungannya dengan
pertentangan sebagai konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria
yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah
konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua,
pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling
memusuhi (mutualy opposing actions). Ketiga, mereka biasanya cenderung
menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “sang
musuh”. Keempat, interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada
dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan
itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang
tidak terlibat dalam pertentangan. Konflik dalam pengertian yang luas
dapat dikatakan sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang
bersifat berlawanan. Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang
antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan,
sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang
berbeda.
Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah
laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan halus,
terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan
terbuka. Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan
pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi
yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan
dalam bidang manajemen, serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan
dan ide. Hocker & Wilmot (1991) memberikan definisi yang cukup luas
terhadap konflik sebagai “an expressed struggle betwen at least two
interdependent parties who perceive incompatibel goal, scarce rewards,
and interference from the other parties in achieving their goals”.
Seseorang dikatakan terlibat konflik dengan pihak lain jika sejumlah
ketidaksepakatan muncul antara keduanya, dan masing-masing menyadari
adanya ketidaksepakatan itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan
ketidaksetujuan, sedang yang lain tidak, maka belum bisa dikatakan
konflik antara dua pihak. Dengan kata lain, dua pihak harus menyadari
adanya masalah sebelum mereka berada di dalam konflik. Semua konflik
seringkali dipandang sebagai pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan
kegagalan pencapaian tujuan pihak lain. Hal ini karena seringkali orang
memandang tujuannya sendiri secara lebih penting, sehingga meskipun
konflik yang ada sebenarnya merupakan konflik yang kecil, seolah-olah
tampak sebagai konflik yang besar.
Konflik muncul diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya. Misalnya,
jika dua orang duduk sebangku dalam kelas, maka bangku itu menjadi
sumberdaya. Apabila salah satu pihak bertingkah laku seakanakan mau
menguasai kamar, pihak lain akan terganggu maka terjadilah konflik
diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik saling tergantung
satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku pihak
lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah,
maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak
terselesaikan karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling
ketergantungan. Selama ini konflik sering dihubungkan dengan agresi.
Broadman & Horowitz menyatakan bahwa konflik dan agresi merupakan
dua hal yang berbeda. Konflik tidak selalu menghasilkan kerugian, tetapi
juga membawa dampak yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat,
sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak yang merugikan bagi
individu.
Pengendalian Konflik
Pengendalian konflik dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu dengan
konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan
(arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan
integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang
terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak
sempurna dapat menciptakan konflik. Pengendalian konflik dengan cara
konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan
tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak
yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara
efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:
1. Harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain.
2. Lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian
3. Lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik.
4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa
kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan
meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara
mediasi, dengan maksud bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat
untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat,
berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka
alami. Pengendalian konflik dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa
pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang
akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka
menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan
mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang
diambil oleh pihak wasit.
Pola Penyelesaian Konflik
Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan
tragedi. Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya
sebagai perilaku yang seolah wajar dan bahkan terinstitusionalisasi.
Akibatnya lingkaran setan kekerasan menjadimata rantai yang semakin
sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak adalah
victim (korban) memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan
melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan dan kerugian materiil
yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi. Dampak
konflik lainnya adalah mengundang turun tangan keluarga dan sanak
saudaradari kepulauan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga ibu kota
negara datang membantu keluarganya secara ekonomi, tenaga, ikut
berperang dll. Di sudut agama terpanggil rasa solidaritas se-agama dari
pelbagai organisasi sosial keagamaan dari pelbagai penjuru tanah air
hingga dari luar negeri.
Pada masyarakat multikultular, suatu konflik bisa diatasi dengan cara – cara seperti berikut :
1. Sikap tidak diskriminatif
Diskrimatif adalah perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka diskriminatif adalah yaitu sikap
tidak membedakan perlakuan terhadap semua warga negara, seperti tidak
memandang warga negara asli atau bukan asli, pribumi atau nonpribumi.
Dengan tidak membedakan antara kelompok sosial tersebut, maka negara
harus memberikan ruang gerak yang sama untuk kelangsungan hidup kelompok
– kelompok tersebut. Masing – masinf kelompok sosial mendapat jaminan
hukum yang pasti.
2. Rasional
Rasional berarti pikiran sehat, cocok dengan akal, patut, dan layak.
Utnuk menghindari konflik, antara kelompok sosial yang beraneka ragam,
perlu dikembangkan sikap yang masuk akal. Jangan menggunakan emosi atau
perasaan semata. Perbuatan yang tidak menggunakan akal yang jernih dan
sehat serta pemikiran yang tidak matang akan mengakibatkan kerugian yang
luar biasa. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat multikultural
selalu dituntut untuk menyadari keanekaragaman yang dimiliki, sehingga
jika akan melakukan sesuatu perlu dipertimbangkan secara rasional.
3. Persaingan yang sehat
Dalam masyarakat multikultural, adanya keanekaragaman kelompok sosial
pasti selalu muncul persaingan, baik yang bersifat positif maupun yang
negatif. Untuk itu, perlu diciptakan kondisi persaingan yang positif dan
sehat. Dengan adanya persaingan positif tersebut, kelompok yang satu
akan belajar dari kelompok yang lain dan akan timbul sikap saling
menghormati antar kelompok.
4. Dialogis
Untuk mengatasi konflik antar kelompok soial di dalam masyarakat
multikultural, diperlukan pendekatan antara kelompok yang satu dan
kelompok yang lain dengan cara dialog, sehingga perbedaan yang ada bisa
saling dimengerti dan dihormati. Perlu disadari, bahwa di dalam
keanekaragaman kelompok sosial terdapat pula keanekaragaman kepentingan.
Adanya keanekaragaman kepentingan perlu dibicarakan bersama antar
kelompok satu dengan kelompok yang lain sehingga akan tercapai
kesepakatan yang menggantungkan kedua belah pihak.
Ada juga beberapa cara untuk memecahkan konflik yang terjadi, yaitu :
1. Pemecahan
masalah dengan cara pertemuan tatap muka dari pihak – pihak yang
berkonflik dengan maksud mengidentifikasi masalah dan memecahkannya
dengan cara terbuka.
2. Menciptakan suatu tujuan bersama yang tidak dapat dicapai tanpa kerjasama dari masing – masing pihak yang berkonflik.
3. Dengan cara penghindaran atau berusaha untuk menarik diri konflik misalnyan mengurangi kesempatan untuk bertemu.
4. Berusaha untuk mengecilkan arti perbedaan sementara menekankan kepentingan bersama antara pihak – pihak yang berkonflik.
5. Melakukan tindakan kompromi dengan cara tiap pihak yang berkonflik melepaskan atau mengorbankan sesuatu yang berharga.
6. Mengubah
variabel atau menggunakan teknik pengubahan perilaku manusia misalnya
pelatihan hubungan manusia untuk mengubah sikap dan perilaku yang
menyebabkan konflik.
Pola penyelesaian konflik bila dipandang dari sudut menang-kalah pada masing-masing pihak, maka ada
empat bentuk pengelolaan konflik, yaitu :
1. Bentuk kalah-kalah (menghindari konflik)
Bentuk pertama ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari
konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa
kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau
menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut.
2. Bentuk menang-kalah (persaingan)
Bentuk ini memastikan bahwa satu pihak memenangkan konflik dari pihak
lain. Biasanya kekuasaan atau pengaruh digunakan untuk memastikan bahwa
dalam konflik tersebut individu tersebut yang keluar sebagai
pemenangnya. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak
mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi
kalah.
3. Bentuk kalah-menang (mengakomodasi)
individu yang kalah dan pihak lain menang ini berarti individu berada
dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya
ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar.
Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan
akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang
diinginkan.
4. Bentuk menang-menang (kolaborasi)
Bentuk seperti ini disebut dengan gaya pengelolaan konflik kolaborasi
atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan
penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat
semua pihak yang bertikai.
Dengan adanya sebuah konflik juga bisa menghasilkan suatu perubahan pada
masyarakat yang terkadang juga membawa dampak positif namun juga banyak
yang menghasilkan sesuatu yang bersifat negatif.
Antara lain hasil yang didapatkan dari adanya suatu konflik adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
2. Keretakan hubungan antar kelompokyang bertikai.
3. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dan lain-lain.
4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
5. Dominasi
bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Pengelolaan konflik merupakan cara yang digunakan individu dalam
mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik, dalam hal ini adalah
konflik interpersonal.
Ada juga strategi yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik yaitu:
- Koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen.
- Dengan mediasi (perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar